Pertanyaanya sekarang, bagaimanakah
kasih dan jiwa kita terarah ke yang Subjek yang satu dan bukan lain –kepada illah jaman atau
Allah yang sejati?
Di dalam perspektif inkarnasional, praktik pendidikan di sekolah yang kita hidupi dan alami di dalam dunia inderawi kita bukanlah sekedar fenomena fisik yang dapat dilepaskan dari essensinya (yaitu kasih), tetapi sebaliknya, fenomena kongkret indrawi merupakan merupakan ‘inkarnasi’ dari kasih, pengharapan dan iman kita.
Dengan kata lain, melalui praktik sosial yang kongkret itulah kita menyatakan kepada yang lain (si)apa dan bagaimana kita mengasihi. Melalui praktik/karya kongkret, kita meneguhkan dan mengklaim apa dan bagaimana yang kita berharap dan berimani. Di dalam praktik konkrit tersebut, kita 'menginjili' yang lain agar ikut menyembah dan mengasihi sesuai dengan kepercayaan kita.
Maka, praktik sosial yang kongkret (seperti pendidikan misalnya) bukanlah sekedar kegiatan fisik yang hanya membentuk pengalaman fisik manusia. Tetapi, pada esensinya, sekolah Kristen adalah praktik spiritual yang membentuk jiwa orang-orang yang berada di dalamnya. Dengan barpartisipasi di dalam praktik sosial tertentu secara terus-menerus, kasih kita dibentuk dan diarahkan kepada Sesuatu.
Seorang guru baru, namanya, sebut saja "Budi," ia baru bergabung dengan sekolah Kristen Omega selama 1 minggu. Budi tentu belum terbiasa dengan segala norma, peraturan, kebiasaan atau tradisi dalam sekolah tersebut. Pada hari pertama bergabung dengan sekolah Omega, Budi langsung mencari berbagai informasi dalam bentuk lisan maupun tulisan yang bisa menerangkan ekspektasi-ekspektasi sosial/profesional dalam sekolah tersebut agar ia bisa berperilaku sesuai norma dalam sekolah tersebut. Buku tersebut ia bawa pulang dan langsung dibacanya hingga selesai hari itu juga. Keesokan harinya, ia langsung coba mempraktikkannya sambil membawa buku pentunjuk itu. Namun, nampak ia masih lupa dalam banyak hal yang dinyatakan dalam buku tersebut. Orang-orang lama dalam sekolah tersebut memaklumi hal itu, karena mereka dulu juga mengalami hal yang sama. Hari demi hari berlalu, si guru baru itu terus berpartisipasi secara kongkret dalam praktik sekolah tersebut. Di dalam proses partisipasi itu, ia secara intuitif perlahan makin memahami gerak-gerik, ekspektasi, cerita, harapan dari komunitas sekolah tersebut. Kebiasaan-kebiasaan/norma-norma itupun kemudian menyatu dan menjadi bagian dari dirinya. Melalui pengalaman kongkret, ia memahami apa dan bagaimanakah "sekolah kristen." Termasuk bagaimana ia berharap, menyelesaikan masalah, dan kecenderungan-kecenderungan pedagogis, relasi sosial, makna dari "pendidikan" juga terbentuk. Dengan kata lain, bukan cuma Budi berpartisipasi secara fisik, tetapi spiritualitas dan pandangannya tentang sekolah dan dunianya telah dibentuk dan diarahkan melalui praktik sosial yang kongkret dalam sekolah tersebut.
Kasih dan orientasi hati kita kepada Subjek tertentu dibentuk melalui pengalaman keseharian kita yang kongkrit, yang terus-menerus di dalamnya kita berpartisipasi. Di dalamnya, hati/tubuh kita didik untuk memiliki kecenderungan/disposisi/intuisi tertentu sesuai dengan kasih dan pengharapan yang diasumsikan di dalam praktik tersebut.
Singkatnya, “kebiasaan” kongkret adalah medium inkarnatif yang membentuk hati dan identitas kita. Dengan terus menerus mengerjakan sebuah praktik sosial tertentu – yang di dalamnya mengandung fenomena estetik (arsitek, interior design, artifak-artifak), etik, sosial, politis, dll – 'bawaan' kita juga akan terbentuk.
Manusia itu selalu mengasihi dan di dalam kebertubuhannya. Ia selalu terlibat/berpartisipasi di dalam praktik sosial tertentu secara panca-inderawi. Sekolah Kristen merupakan salah satu praktik sosial tersebut. Praktik fisik/kongkretnya selalu berada dalam kondisi menyembah kepada Subjek tertentu. Praktik-praktiknya secara implisit mengarahkan anak-anak didiknya untuk menyembah Subjek tertentu. Pengarahan implisit ini secara efektif membentuk manusia di dalamnya secara utuh, yaitu melalui kondisi kongkret di lapangan (yang di dalamnya termasuk, apa/bagaimana Kegiatan Belajar Mengajar berlangsung, bagaimana hubungan antara murid/guru, peraturan, bagaimana menyelesaikan masalah, tujuan, tata letak ruangan, cara asesmen, struktur kurikulum, ekspektasi, dll).
Seperti praktik liturgi kebaktian pada hari Minggu, praktik pendidikan di sekolah Kristen juga membentuk jiwa anak-anak. Maka, praktik atau kebiasan sosial yang kongkret yang membentuk hati, kasih atau spiritualitas kita boleh kita sebut sebagai praktik liturgis.
Ya, pada dasarnya kita ini bukan homo economicus atau sapiens seperti orang modern bilang. Kita ini homo liturgicus.
Di dalam perspektif inkarnasional, praktik pendidikan di sekolah yang kita hidupi dan alami di dalam dunia inderawi kita bukanlah sekedar fenomena fisik yang dapat dilepaskan dari essensinya (yaitu kasih), tetapi sebaliknya, fenomena kongkret indrawi merupakan merupakan ‘inkarnasi’ dari kasih, pengharapan dan iman kita.
Dengan kata lain, melalui praktik sosial yang kongkret itulah kita menyatakan kepada yang lain (si)apa dan bagaimana kita mengasihi. Melalui praktik/karya kongkret, kita meneguhkan dan mengklaim apa dan bagaimana yang kita berharap dan berimani. Di dalam praktik konkrit tersebut, kita 'menginjili' yang lain agar ikut menyembah dan mengasihi sesuai dengan kepercayaan kita.
Maka, praktik sosial yang kongkret (seperti pendidikan misalnya) bukanlah sekedar kegiatan fisik yang hanya membentuk pengalaman fisik manusia. Tetapi, pada esensinya, sekolah Kristen adalah praktik spiritual yang membentuk jiwa orang-orang yang berada di dalamnya. Dengan barpartisipasi di dalam praktik sosial tertentu secara terus-menerus, kasih kita dibentuk dan diarahkan kepada Sesuatu.
Seorang guru baru, namanya, sebut saja "Budi," ia baru bergabung dengan sekolah Kristen Omega selama 1 minggu. Budi tentu belum terbiasa dengan segala norma, peraturan, kebiasaan atau tradisi dalam sekolah tersebut. Pada hari pertama bergabung dengan sekolah Omega, Budi langsung mencari berbagai informasi dalam bentuk lisan maupun tulisan yang bisa menerangkan ekspektasi-ekspektasi sosial/profesional dalam sekolah tersebut agar ia bisa berperilaku sesuai norma dalam sekolah tersebut. Buku tersebut ia bawa pulang dan langsung dibacanya hingga selesai hari itu juga. Keesokan harinya, ia langsung coba mempraktikkannya sambil membawa buku pentunjuk itu. Namun, nampak ia masih lupa dalam banyak hal yang dinyatakan dalam buku tersebut. Orang-orang lama dalam sekolah tersebut memaklumi hal itu, karena mereka dulu juga mengalami hal yang sama. Hari demi hari berlalu, si guru baru itu terus berpartisipasi secara kongkret dalam praktik sekolah tersebut. Di dalam proses partisipasi itu, ia secara intuitif perlahan makin memahami gerak-gerik, ekspektasi, cerita, harapan dari komunitas sekolah tersebut. Kebiasaan-kebiasaan/norma-norma itupun kemudian menyatu dan menjadi bagian dari dirinya. Melalui pengalaman kongkret, ia memahami apa dan bagaimanakah "sekolah kristen." Termasuk bagaimana ia berharap, menyelesaikan masalah, dan kecenderungan-kecenderungan pedagogis, relasi sosial, makna dari "pendidikan" juga terbentuk. Dengan kata lain, bukan cuma Budi berpartisipasi secara fisik, tetapi spiritualitas dan pandangannya tentang sekolah dan dunianya telah dibentuk dan diarahkan melalui praktik sosial yang kongkret dalam sekolah tersebut.
Kasih dan orientasi hati kita kepada Subjek tertentu dibentuk melalui pengalaman keseharian kita yang kongkrit, yang terus-menerus di dalamnya kita berpartisipasi. Di dalamnya, hati/tubuh kita didik untuk memiliki kecenderungan/disposisi/intuisi tertentu sesuai dengan kasih dan pengharapan yang diasumsikan di dalam praktik tersebut.
Singkatnya, “kebiasaan” kongkret adalah medium inkarnatif yang membentuk hati dan identitas kita. Dengan terus menerus mengerjakan sebuah praktik sosial tertentu – yang di dalamnya mengandung fenomena estetik (arsitek, interior design, artifak-artifak), etik, sosial, politis, dll – 'bawaan' kita juga akan terbentuk.
Manusia itu selalu mengasihi dan di dalam kebertubuhannya. Ia selalu terlibat/berpartisipasi di dalam praktik sosial tertentu secara panca-inderawi. Sekolah Kristen merupakan salah satu praktik sosial tersebut. Praktik fisik/kongkretnya selalu berada dalam kondisi menyembah kepada Subjek tertentu. Praktik-praktiknya secara implisit mengarahkan anak-anak didiknya untuk menyembah Subjek tertentu. Pengarahan implisit ini secara efektif membentuk manusia di dalamnya secara utuh, yaitu melalui kondisi kongkret di lapangan (yang di dalamnya termasuk, apa/bagaimana Kegiatan Belajar Mengajar berlangsung, bagaimana hubungan antara murid/guru, peraturan, bagaimana menyelesaikan masalah, tujuan, tata letak ruangan, cara asesmen, struktur kurikulum, ekspektasi, dll).
Seperti praktik liturgi kebaktian pada hari Minggu, praktik pendidikan di sekolah Kristen juga membentuk jiwa anak-anak. Maka, praktik atau kebiasan sosial yang kongkret yang membentuk hati, kasih atau spiritualitas kita boleh kita sebut sebagai praktik liturgis.
Ya, pada dasarnya kita ini bukan homo economicus atau sapiens seperti orang modern bilang. Kita ini homo liturgicus.