Thursday, September 12, 2013

The Big Picture: A Liturgical Anthropology (2)

Pertanyaanya sekarang, bagaimanakah kasih dan jiwa kita terarah ke yang Subjek yang satu dan bukan lain –kepada illah jaman atau Allah yang sejati?

Di dalam perspektif inkarnasional, praktik pendidikan di sekolah yang kita hidupi dan alami di dalam dunia inderawi kita bukanlah sekedar fenomena fisik yang dapat dilepaskan dari essensinya (yaitu kasih), tetapi sebaliknya, fenomena kongkret indrawi merupakan merupakan ‘inkarnasi’ dari kasih, pengharapan dan iman kita. 

Dengan kata lain, melalui praktik sosial yang kongkret itulah kita menyatakan kepada yang lain (si)apa dan bagaimana kita mengasihi. Melalui praktik/karya kongkret, kita meneguhkan dan mengklaim apa dan bagaimana yang kita berharap dan berimani. Di dalam praktik konkrit tersebut, kita 'menginjili' yang lain agar ikut menyembah dan mengasihi sesuai dengan kepercayaan kita.

Maka, praktik sosial yang kongkret (seperti pendidikan misalnya) bukanlah sekedar kegiatan fisik yang hanya membentuk pengalaman fisik manusia. Tetapi, pada esensinya, sekolah Kristen adalah praktik spiritual yang membentuk jiwa orang-orang yang berada di dalamnya. Dengan barpartisipasi di dalam praktik sosial tertentu secara terus-menerus, kasih kita dibentuk dan diarahkan kepada Sesuatu.

Seorang guru baru, namanya, sebut saja "Budi," ia baru bergabung dengan sekolah Kristen Omega selama 1 minggu. Budi tentu belum terbiasa dengan segala norma, peraturan, kebiasaan atau tradisi dalam sekolah tersebut. Pada hari pertama bergabung dengan sekolah Omega, Budi langsung mencari berbagai informasi dalam bentuk lisan maupun tulisan yang bisa menerangkan ekspektasi-ekspektasi sosial/profesional dalam sekolah tersebut agar ia bisa berperilaku sesuai norma dalam sekolah tersebut. Buku tersebut ia bawa pulang dan langsung dibacanya hingga selesai hari itu juga. Keesokan harinya, ia langsung coba mempraktikkannya sambil membawa buku pentunjuk itu. Namun, nampak ia masih lupa dalam banyak hal yang dinyatakan dalam buku tersebut. Orang-orang lama dalam sekolah tersebut memaklumi hal itu, karena mereka dulu juga mengalami hal yang sama. Hari demi hari berlalu, si guru baru itu terus berpartisipasi secara kongkret dalam praktik sekolah tersebut. Di dalam proses partisipasi itu, ia secara intuitif perlahan makin memahami gerak-gerik, ekspektasi, cerita, harapan dari komunitas sekolah tersebut. Kebiasaan-kebiasaan/norma-norma itupun kemudian menyatu dan menjadi bagian dari dirinya. Melalui pengalaman kongkret, ia memahami apa dan bagaimanakah "sekolah kristen." Termasuk bagaimana ia berharap, menyelesaikan masalah, dan kecenderungan-kecenderungan pedagogis, relasi sosial, makna dari "pendidikan" juga terbentuk. Dengan kata lain, bukan cuma Budi berpartisipasi secara fisik, tetapi spiritualitas dan pandangannya tentang sekolah dan dunianya telah dibentuk dan diarahkan melalui praktik sosial yang kongkret dalam sekolah tersebut.


Kasih dan orientasi hati kita kepada Subjek tertentu dibentuk melalui pengalaman keseharian kita yang kongkrit, yang terus-menerus di dalamnya kita berpartisipasi. Di dalamnya, hati/tubuh kita didik untuk memiliki kecenderungan/disposisi/intuisi tertentu sesuai dengan kasih dan pengharapan yang diasumsikan di dalam praktik tersebut.

Singkatnya, “kebiasaan” kongkret adalah medium inkarnatif yang membentuk hati dan identitas kita. Dengan terus menerus mengerjakan sebuah praktik sosial tertentu – yang di dalamnya mengandung fenomena estetik (arsitek, interior design, artifak-artifak), etik, sosial, politis, dll  'bawaan' kita juga akan terbentuk.

Manusia itu selalu mengasihi dan di dalam kebertubuhannya. Ia selalu terlibat/berpartisipasi di dalam praktik sosial tertentu secara panca-inderawi. Sekolah Kristen merupakan salah satu praktik sosial tersebut. Praktik fisik/kongkretnya selalu berada dalam kondisi menyembah kepada Subjek tertentu. Praktik-praktiknya secara implisit mengarahkan anak-anak didiknya untuk menyembah Subjek tertentu. Pengarahan implisit ini secara efektif membentuk manusia di dalamnya secara utuh, yaitu melalui kondisi kongkret di lapangan (yang di dalamnya termasuk, apa/bagaimana Kegiatan Belajar Mengajar berlangsung, bagaimana hubungan antara murid/guru, peraturan, bagaimana menyelesaikan masalah, tujuan, tata letak ruangan, cara asesmen, struktur kurikulum, ekspektasi, dll).


Seperti praktik liturgi kebaktian pada hari Minggu, praktik pendidikan di sekolah Kristen juga membentuk jiwa anak-anak. Maka, praktik atau kebiasan sosial yang kongkret yang membentuk hati, kasih atau spiritualitas kita boleh kita sebut sebagai praktik liturgis.

Ya, pada dasarnya kita ini bukan homo economicus atau sapiens seperti orang modern bilang. Kita ini homo liturgicus.

Wednesday, September 11, 2013

The Big Picture: The Nature of Human Person (1)

Apakah natur dari manusia? Kitab kejadian mengatakan bahwa manusia dijadikan Allah menurut gambar Allah.  "Gambar Allah," menurut kitab Ibrani 1:13 adalah Yesus Kristus: "Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah." Dengan kata lain, kita, manusia, dicipta menurut Kristus.

Kristus adalah gambar dari substansi/Allah Bapa yang tak terlihat. Substansi Allah adalah kasih (1 Yoh 1:8). Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus adalah (komunitas) kasih. Seturut hal ini, menjadi manusia yang dicipta menurut gambar Allah sama dengan menjadi sebuah komunitas yang di dalamnya kita saling "mengasihi" dan "dikasihi." Dengan seperti itu, dunia akan tahu bahwa kita memang adalah murid-murid Kristus.

Bagi Rasul Paulus, iman, kasih dan pengharapan adalah yang akan tetap tinggal nanti, tetapi yang terbesar dianataranya ialah kasih. Agustinus menyatakan bahwa kasih kita kepada Subjek tertentu bersifat mendasar bagi pengharapan, dan pengharapan bersifat mendasar bagi iman kita. Kasih adalah yang mendefinisikan manusia dan dan indentitasnya. Masalahnya adalah Siapakah yang kita kasihi?

Setelah kejatuhan manusia dalam dosa, natur manusia sebagai makhluk yang mengasihi tidak rusak, tetapi jatuh mengarah kepada yang bukan Allah, melainkan ciptaan –ciptaan yang sesungguhnya dijadikan untuk menggambarkan kemuliaan Allah! Masalah kasih ini tentu bukan sekedar masalah intelektual atau teknik ber-rasionalitas, seakan kasih kita bisa diarahkan kembali/ditebus oleh kemuthakiran rasio manusia. Sejatinya, masalah kejatuhan ini adalah masalah cinta kasih, iman, pengharapan. Ini masalah komitmen, penyembahan dan pemberhalaan.

Bagi orang modern, natur essensial manusia adalah rasionalitas, atau kemampuan berpikir. Kata mereka, “Sebelum Anda mengasihi subjek tertentu, berpikir dan analisalah terlebih dahulu: Apakah seseorang tersebut layak untuk dikasihi atau tidak?” Dengan kata lain, rasiolah yang mendasari kasih dan lebih besar dari kasih. Rasio mengkontrol kasih manusia kepada yang lain. “Pertama-tama: berpikirlah! We are what we think” Kata mereka. Descartes menegaskan hal tersebut dengan mengatakan, “I think therefore I am,” yang artinya “Saya berpikir maka saya ada.”

Tapi masalahnya, hal ini tidak sesuai dengan Alkitab dan juga keberadaan kita. Di dalam keberadaan sehari-hari, kita tidak terus-menerus berpikir secara sadar supaya tetap ada dan berfungsi dalam realita sosial. Perhatikanlah keseharian kita: Pagi–pagi bangun, mandi, sarapan, pergi ke sekolah, mengajar, berinteraksi dengan kolega, murid, pulang ke rumah bertemu keluarga atau kolega, makan, minum dan melakukan hal-hal lain. Semua terjadi secara cukup ‘otomatis,’ bukan? Ketika jalan pulang dari sekolah, kita lebih sering tidak berpikir tentang jalan mana yang harus ditempuh, tetapi secara intuitif kita berjalan dan (alas!) tiba di rumah. Bahkan, mungkin juga kita lupa lewat jalan mana kita tadi.

Fakta ini menerangkan bahwa kita selalu sudah berada-dalam-dunia, di dalam kebiasaan tertentu, di dalam konteks kebudayaan tertentu, di dalam asumsi dunia tertentu, sebelum berpikir secara sadar. Kita sudah langsung berada dalam kondisi tertentu, terlibat dan ‘tergenggam’ dalam praktik-praktik sosial/kebudayaan. Di dalam ‘ketergenggaman’ itulah manusia berpikir.

Menurut Alkitab, pertama-tama, yang mendasar atau essensial di dalam menjadi manusia adalah kasih, bukan pikiran. Menjadi manusia sama dengan mengasihi Subjek tertentu secara mutlak. Di dalam diri kita, selalu telah ada “kasih” atau hasrat, pengharapan dan iman kepada Subjek (“Subjek” dengan huruf besar dimaksudkan sebagai subjek yang kita anggap sebagai mutlak). Dengan kata lain, manusia itu selalu sudah “menyembah” atau memuja-muji sesuatu dengan hati/kasih kita yang terdalam. Kasih merupakan titik kontak yang paling primitif antara manusia dengan yang Lain, bukan berpikir tentang yang Lain tersebut.

Natur manusia (mengasihi) ini bekerja pada pada level pra-kesadaran/refleksi, yaitu sebelum kita berpikir. Apa yang kita pikirkan secara sadar itu seperti puncak dari sebuah gunung es: Ada hal yang lebih mendasar, yang tidak kita sadari, yang menggerakkan pemikiran, perkataan dan kebiasaan kita seturutnya. Jadi, pikiranlah yang sebenarnya dibatasi dan didasari oleh kasih, bukan sebaliknya.

Di dalam perspektif inkarnasional, “kasih” atau spiritualitas sebagai esensi dari manusia tidak dipahami secara pikiran abstrak, tetapi secara riil, faktual, praktika dan panca inderawi. Allah selalu mewahyukan kasihNya kepada manusia melalui hal inderawi (dunia ciptaan), yang secara ultimat dinyatakan di dalam Inkarnasi Kristus. 

Implikasinya, kasih (kita kepada Allah) tidak boleh dipahami secara abstrak (dengan berangkat dari rasio murni, atau axiom atau titik tolak yang bersifat abstrak), tetapi secara penuh/utuh dari apa yang kita hidupi secara kongkret dalam keseharian kita. Di dalam sekolah, kasih kita terefleksikan di dalam karya-karya kita, praktik-praktik pendidikan di dalam dan luar kelas, di dalam bagaimana kita meng-ases murid-murid, peraturan yang kita buat, dll.

“Mengasihi” tidak beroperasi atau bermula dari kecenderungan sistematis atau teori abstrak, tetapi di dalam situasi dan praktik kehidupan (sekolah) yang konkrit.